Cerita asal
usul manusia pada artikel sebelum ini menunjukkan bahwa kehidupan ini dimulai
oleh kemuncullan sebuah sel pertama di laut. Dalam waktu jutaan tahun, sel itu
berkembang dalam jumlah yang besar dan berevolusi (berubah secara perlahan-lahan)
menjadi berbagai ragam makhluk hidup. Ikan laut yang berhasil melompat ke
daratan secara perlahan (dalam waktu jutaan tahun) mengembangkan tangan dan
kaki pertama di dunia. Bila kita percaya pada teori evolusi, secara otomatis
kita percaya bahwa bukan Tuhan
yang menciptakan makhluk hidup, melainkan makhluk hidup itu muncul dengan
sendirinya. Mana yang benar? Teori evolusi atau teori penciptaan?
Pada tahun 1860, terjadi sebuah
perdebatan sengit antara penganut Kristen dan Ilmuwan Pendukung Evolusi di
Universitas Oxford, Inggris. Saat itu, Gereja dan para pendukung Darwin
berhadap-hadapan secara langsung. Agama Kristen percaya bahwa alam semesta
diciptakan oleh Allah, oleh karena itu teori evolusi dianggap ide yang
menantang kitab suci.
Pada perdebatan itu, Uskup Samuel
Wilberforce (1805-1873) yang mendukung kitab suci berhadapan dengan Henry
Huxley (1825-1895) yang mendukung evolusi, mewakili Charles Darwin yang
waktu itu sedang sakit. Siapa yang menang? Tak ada. Debat itu berakhir dengan
kerusuhan. Tapi selama dua abad kemudian, teori evolusi yang nampaknya diterima
secara umum. Orang-orang melihat teori evolusi sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Benarkah?
Samuel Wilberforce |
Henry Huxley |
Neo Darwinisme
Pada abad ke-21 ini orang-orang mulai meragukan teori evolusi, terutama
setelah munculnya berbagai penemuan dalam ilmu pengetahuan alam. Ilmu pewarisan
sifat yang dikembangkan oleh Mendel mengatakan bahwa makhluk hidup
berkembang-biak dengan mengikuti sifat-sifat induknya. Kalau begitu, bagaimana
mungkin ikan menjadi reptil, kemudian reptil menjadi mamalia dan mamalia
menjadi manusia? Bukankah makhluk hidup terlahir hanya mewarisi sifat
induknya?
Rantai DNA yang merupakan database sifat-sifat makhluk hidup pada tingkat sel |
Para pengikut Darwin tak dapat mengabaikan teori pewarisan sifat yang
disebut "ilmu genetika" ini. Mereka sekarang disebut
"Neo-Darwinis" (pengikut Darwin yang menggunakan ilmu genetika dalam
memperkuat teori evolusi) Mereka kemudian "ngeles" dengan mengatakan
bahwa terdapat beberapa titik dalam sejarah di mana terjadi
"kecelakaan" di tingkat gen manusia yang menyebabkan urutan kode gen
berubah dan akibatnya adalah kemuncullan rupa makhluk hidup yang berbeda dari
rupa induknya (misalnya induk jerapah yang berleher pendek melahirkan anak
jerapah yang berleher lebih panjang). Menurut para "neo-Darwinis",
kecelakaan ini disebut mutasi.
Apakah "teori mutasi" dapat kita terima untuk memperkuat
"teori evolusi makhluk hidup"? Apakah pernah ada dalam sejarah ketika
rupa manusia masih menyerupai kera? Apakah cerita tentang asal usul makhluk
hidup dan manusia purba yang kita jumpai di pelajaran sekolah dasar itu masih
dapat kita terima?
Kritik I:
Mutasi itu Membahayakan
Para neo-darwinis pendukung evolusi menggunakan teori “mutasi” untuk
menjelaskan terjadinya evolusi. Jadi, ikan purba dahulu mengalami kecelakaan
pada tingkat sel sehingga sirip mereka menjadi kaki dan gelembung udara mereka
menjadi paru-paru, sampai ketika semua itu berubah menjadi berbagai macam
spesies: reptil, mamalia, burung, dan manusia, miliaran kecelakaan mutasi telah
terjadi dan menjelaskan mengapa kini makhluk hidup berbeda-beda. Berikut ini
contoh evolusi makhluk hidup:
Evolusi dari ikan, menjadi reptil, menjadi kera, kemudian menjadi manusia |
Teori evolusi mengatakan bahwa kehidupan muncul dari laut (baca artikel bagian sebelumnya) |
Menurut teori evolusi, dahulu jerapah mempunyai leher pendek, kemudian berevolusi menjadi panjang |
Dari mana asalnya burung? menurut teori evolusi, burung berkembang dari reptil! |
Dari mana asalnya manusia? menurut teori evolusi, manusia berkembang (berevolusi) dari kera! |
Benarkah
terjadi kecelakaan pada gen kera sehingga berjuta-juta tahun kemudian muncul
manusia?
|
Karena
terlalu banyak makan, manusia akan berevolusi menjadi babi! (just kidding!)
|
Benarkah miliaran mutasi telah terjadi sehingga satu sel pertama di laut
berkembang pesat menjadi ikan, reptil, mamalia, burung dan manusia?? Apakah
mutasi benar-benar telah merubah makhluk hidup menjadi sedemikian banyak rupa
dan macamnya?
Namun pada kenyataannya, mutasi sangat jarang terjadi, dan sekalipun terjadi, merusak struktur tubuh makhluk hidup. Seorang pakar biologi genetika dari Amerika, B.G. Ranganathan, membandingkan mutasi dengan gempa bumi yang mengguncang struktur gedung yang sudah rapih. Beton, bata, semen, lantai, yang sudah tersusun, menjadi berantakan. Apakah gedung itu menjadi gedung yang lain dan tetap eksis seperti sediakala?
Sejauh ini, para Neo Darwinis bereksperimen, mencoba memberikan radiasi
radioaktif pada binatang-binatang tertentu, berharap menemukan hasil mutasi
yang memuaskan, tapi harapan itu selalu kandas. Perhatikan dua ekor lalat
berikut:
Lalat Normal |
Lalat Mutan (setelah diberikan radiasi radioaktif) |
Seorang ilmuwan Neo Darwinis memberikan sinar
radiasi kepada seekor lalat normal. Akibatnya, DNA lalat tersebut mengalami
mutasi dan terjadilah kerusakan struktur: dua tungkai kaki tumbuh di kepala
lalat tersebut. Alih-alih menjadi spesies lain, lalat tersebut malah menjadi
lalat yang cacat, persis seperti penduduk Hirosima dan Nagasaki pada Perang
Dunia II yang terkena efek radiasi radioaktif bom atom: DNA mereka mengalami
mutasi dan struktur tubuh mereka rusak.
Seorang Anak yang terkena radiasi nuklir |
Singkatnya, cerita evolusi
makhluk hidup yang digagas sejak dua abad yang lalu perlu dipertanyakan kembali
kebenarannya. Benarkah sirip ikan dapat berevolusi menjadi kaki? Ataukah
mungkin kera mengubah struktur tubuhnya dan berevolusi menjadi manusia? Jawabannya,
tidak. bila mutasi ternyata membahayakan, maka evolusi spesies menjadi spesies
lain berarti tak pernah terjadi.
Kritik II: Ilustrasi dengan data Yang tak Memadai
Pembaca yang tidak kritis tidak akan pernah mengetahui
bahwa ilustrasi rupa manusia purba yang mereka lihat di majalah atau buku-buku
sejarah dibuat hanya berdasarkan fosil sepotong tengkorak, tulang kaki, tulang
rahang, atau sepotong gigi yang tidak lengkap dan tidak memberikan informasi
sedikitpun mengenai bentuk bibir, struktur hidung, rupa rambut, atau pakaian
yang dikenakan.
PP. Grasse, seorang biolog Prancis terkenal, mengatakan: “Andai seseorang
mempunyai kejeniusan Cuvier,[i]
toh orang itu tidak dapat menyusun kembali seekor hewan dari beberapa potong
sisa tubuh.”
Rahang Ramapithecus |
Khayalan rupa Ramapithecus |
Tengkorak Kepala Australopithecus |
Khayalan rupa Australopithecus |
Kritik III: Homo Habilis adalah Kera
Seperti telah dikemukakan, Keluarga Leakey menduga
bahwa Homo Habilis adalah makhluk transisi antara manusia dan
kera (hal. 19). Artinya, sebelum menjadi manusia, kera terlebih dahulu
berevolusi menjadi homo habilis, baru kemudian berevolusi menjadi manusia.
Perhatikan gambar berikut:
1. Kera 2. Australopithecus 3. Homo Habilis (Transisi) 4 dan 5. Homo Erektus (Manusia) |
Tapi pada tahun 1994, tiga ahli anatomi, Fred Spoor,
Bernard Wood, dan Frans Zonneveld mencoba meneliti saluran setengah lingkaran
pada telinga beberapa jenis manusia purba. Saluran ini memang berbeda jelas
antara manusia dan kera. Jadi, kalau Homo Habilis memang makhluk transisi
antara kera dan manusia, maka sudah pasti saluran ini pada telinganya pastilah
mirip kera setengah dan mirip manusia setengah.
Akhirnya penelitian dilakukan, dan hasilnya cukup
mengagetkan: Ternyata, saluran setengah-lingkaran pada telinga Australopithecus
dan Homo Habilis sama persis seperti yang terdapat pada telinga kera zaman
sekarang, sedangkan saluran-setengah lingkaran pada telinga Homo Erectus sama persis
seperti yang terdapat pada manusia zaman sekarang. Sekali lagi, sama persis.
Tak diragukan lagi: Tengkorak Australopithecus—yang ditemukan pada tahun 1924—sebetulnya adalah tengkorak kera. Dan rahang homo habilis yang ditemukan sekitar tahun 1960-an adalah rahang kera. Jadi, sebenarnya, tak pernah ada manusia-setengah kera dalam sejarah. Berdasarkan argumentasi di atas, rupa manusia purba adalah khayalan dan teorinya tidak kuat.
Tak diragukan lagi: Tengkorak Australopithecus—yang ditemukan pada tahun 1924—sebetulnya adalah tengkorak kera. Dan rahang homo habilis yang ditemukan sekitar tahun 1960-an adalah rahang kera. Jadi, sebenarnya, tak pernah ada manusia-setengah kera dalam sejarah. Berdasarkan argumentasi di atas, rupa manusia purba adalah khayalan dan teorinya tidak kuat.
Adapun perbedaan antara Homo Erectus dengan Homo
Neandertal mungkin hanyalah perbedaan ras, seperti perbedaan antara orang Asia
yang kurus dan orang Eropa yang tinggi tegap.
[i] Baron Georges Cuvier (1769-1832) dikenal sebagai bapak
Paleontologi, Zoologi, dan Botani, yang juga ahli dalam bidang fosil dan
anatomi. Beliau mengajar di Museum
Sejarah Alam di Paris, salah satu lembaga ilmiah terbesar di dunia.